Judul : Bencana
Sekolah
Penulis : Jodee
Blanco
Penerbit :
Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Mei
2013
Tebal : ix + 322
halaman
ISBN :
978-602-9193-31-2
Pendidikan
menjadi aset penting bagi bangsa yang akan menentukan maju atau tidaknya suatu
bangsa. Pendidikan menjadi investasi paling mahal. Namun, tak henti-hentinya
kita menyaksikan pelbagai sisi negatif dalam dunia pendidikan, misalnya tawuran
antar siswa, cemoohan, ejekan dan pengibirian siswa, atau yang dikenal dengan
bullying.
Jacoob
Blanco dalam buku ini mengamini bahwa dunia pendidikan saat ini telah timpang
dalam dehumanisasi. Pendidikan tak lagi memanusiakan manusia, karena sekolah
justru mendatangkan bencana bagi para siswa, terutama yang berbentuk bullying.
Bullying
adalah salah satu bentuk dari perilaku agresi dengan tujuan mengganggu orang
yang lebih lemah. Bullying mengandung hasrat untuk melukai atau menakuti orang
atau membuat orang tertekan, trauma, depresi dan tidak berdaya. Blanco dalam
buku ini memaparkan cerita yang luar biasa dalam mengungkap memoar yang dialaminya
sepanjang masa sekolah. Ayah dan ibunya menanamkan pendirian yang teguh tentang
kebenaran dan kesalahan. Mengajarkan tentang belas kasih dan toleran, selalu mendorong
untuk bersikap mandiri dan teguh.
Pada
awal pendidikannya di sekolah dasar di Holly Ascention, Jodee menjadi anak yang
populer. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis kecil berkebutuhan khusus
bernama Marianne. Marianne mempunyai satu kaki yang bengkok. Ia tuli total juga
berpenglihatan rabun. Ia selalu tampil dengan pakaian bekas yang lusuh sehingga
beberapa siswa menertawakannya, bahkan mengoloknya. Jodee ingin membuat
Marianne merasa dicintai, dan ia memutuskan untuk bekerja sukarela di program tunarungu
pada jam makan siang. (hlm 31)
Hubungan
dan kedekatannya yang kian harmonis dengan Marianne membuat optimisme Jodee
akan keharmonisan hidup di sekolahnya berumur pendek. Semua yang menurut
Jodee benar adalah kesalahan fatal di mata temannya. Ia dijauhi dan mulai
teralineasi. Rambutnya dilempari permen karet, sweater kesayangannya dimasukkan
ke toilet, hingga mulut mungilnya yang kecil itu dijejali salju dingin hingga
kesulitan bernafas. Teman di sekolah menyebutnya
si jalang sialan, idiot, si anak buangan, dan orang aneh (hlm 71).
Menjadi
ironi, ketika orangtuanya berselisih tentang apa yang harus dilakukan. Mereka
tidak tahan melihat Jodee pulang setiap hari sambil menangis. Tetapi juga
khawatir, jika mereka membiarkannya pindah sekolah maka sama halnya dengan
menganjurkan pelarian diri dari masalah. Mereka terjebak antara keinginan untuk
menyelamatkan atau mengajarkan cara mengatasi masalah.
Blanco menuturkan kisahnya sendiri saat ia menjadi
korban Bullying. Melalui perjalanan hidup yang ada dalam buku ini, Jodee ingin
agar anak-anak yang menjadi korban bullying merasa tidak sendirian, ada yang
memahami mereka, dan bahwa jika ia bisa selamat begitu juga mereka. Kisah jodee
hanyalah satu dari sekian banyak kasus bullying yang terjadi. Maka hadirnya
buku ini dimaksudkan agar pelaku bullying sadar bahwa mereka telah
menghancurkan korban mereka seumur hidup, dan agar para orangtua serta guru
memahami isu ini dari perspektif anak-anak yang menjadi korban bullying.
Buku
ini sangat dianjurkan karena akan membuat semua orang terkejut akan daya tahan
dari seorang wanita korban bullying yang membela diri tanpa kasar dan kekerasan.
Terlebih, Indonesia kini menduduki peringkat tertinggi kedua dalam kasus
bullying setelah Jepang. Buku ini menjadi peringatan bagi semua pihak meliputi
orang tua, masyarakat, pendidik, dan peserta didik agar benar-benar memosisikan
dirinya dalam perannya mengatasi kasus bullying.
Furaida
Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di Koran Jakarta. Jum'at 7 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar