Judul : Hanif, Dzikir dan Pikir
Novel karya Reza Nufa ini menceritakan kisah
beberapa mahasiswa yaitu Hanif, Idam, Dinda dan Disti. Reza menyuguhkan
kehidupan beberapa anak yang terlibat dalam pergaulan yang akrab, meskipun
masing-masing mempunyai perbedaan latar belakang sekolah, keluarga, kampus,
bahkan agama. Hanif merupakan tokoh yang diidolakan diantara yang lainnya.
Sifat dan pembawaannya yang dewasa, rasionalis, idealis, juga sosok yang rindu
akan hakikat agama hingga ia mengembara mengikuti kemana arah kakinya hendak
melangkah.
Dalam kehidupan, setiap perbedaan bisa saja
melahirkan sinis, benci, enggan bergaul, minder dan stigma lainnya yang
dilabeli sendiri oleh otak, padahal kita belum bersentuhan dengan pribadi-pribadi
yang terlebih dahulu kita hakimi itu. Pikiran kita bersikap tidak adil. Dalam
kehidupan hari-hari misalnya, kita seringkali mendengar komentar terhadap kasus
teroris yang mengatasnamakan Islam. Karena pelakunya adalah orang Islam, maka
agama Islam dibenci dari semua ajarannya.
Manusia begitu senang memberi label, lalu memasang
sekat-sekat yang menciptakan jarak. Jika pun memang kebencian masih dibutuhkan,
maka bencilah pada orang yang tepat. Kebencian itu harus pula hadir karena
kebutuhan akan perdamaian, menghendaki pemusnahan hal-hal yang memang bisa
merusak perdamaian itu.
Hanif dalam tokoh novel ini sangat getol
mendiskusikan hubungan antar pemeluk agama. Menurut Hanif, budaya saling
menghargai perbedaan adalah nilai Indonesia yang harus dijaga. Sifat fisik
Rasul dan sosiokultural orang Arab bukanlah nilai-nilai Islam, namun sosok asli
‘Arab’ yang tidak harus diikuti orang Indonesia (hlm 222). Namun sifat Hanif
yang terlalu menyukai diskusi tanpa mengenal dan memahami dulu lawan diskusinya
menimbulkan sering terjadi kesalahpahaman dengan ayahnya yang termasuk keras
dalam hal menegakkan syariat. Cara pandang yang berbeda dan kerap berseberangan
antar keduanya seringkali menimbulkan perbedaan pendapat.
Pernah suatu waktu saat ia hendak membayarkan sejumlah
uang pada tukang mie ayam, sejenak ia menatap uang lima puluh ribuan di
tangannya. Tertulis disana, “dengan rahmat tuhan yang maha esa, bank indonesia
mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai lima puluh ribu
rupiah.” Mungkinkah para koruptor membaca nama itu di setiap lembar uang hasil
korupsi mereka? Ini merupakan bukti bahwa formalitas agama sudah berjalan, tapi
ketiadaan nilai agama juga berjalan bersamanya.
Novel ini mengajarkan untuk berdiskusi dengan orang
yang ingin diskusi, berdebat dengan orang yang ingin berdebat. Secara langsung
novel ini menyuruh untuk meninggalkan fanatisme dan nafsu mengislamkan atau
mengkristenkan banyak orang. Terserah jika setiap orang berpikir bahwa agamanya
paling benar dan cuma satu-satunya jalan menuju surga. Terserah. Tapi bagaimana
memikirkan solusi untuk mengurangi kemiskinan dan kebodohan? Agama harusnya
adalah jawaban.
Sebuah novel karya Reza Nufa, disampaikan dengan
bahasa yang lugas, mudah dicerna, dan dikemas dengan sangat menarik. Novel yang
tidak hanya sekadar mengandung gagasan, akan tetapi mengaduk pemikiran dan
keyakinan kita dengan perjalanan kehidupan seorang pemuda yang resah. Hanif
yang kritis dengan segala hal yang ada di sekelilingnya dan ingin menjadikan
negara ini maju dan lebih baik dengan memahami ajaran agama yang baik dan
sempurna.
Furaida Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) Mahasiswi FITK IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di harian Jateng Pos edisi Minggu 11 Agustus 2013