Kamis, 30 Mei 2013


Melindungi Diri dari Mata Rantai Terorisme

Oleh Furaida Ayu Musyrifa

Judul Buku: Surat Cinta untuk Kisha
Penulis: Bintang Berkisah
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta
Cetakan: I, Januari 2013
Tebal: 374 halaman
ISBN: 978-602-7640-55-9

Terorisme menjadi salah satu masalah besar yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Aksi terorisme terus menjamur lantaran instabilitas politik dan keamanan yang dipicu masalah penegakan demokrasi. Juga disebabkan oleh lemahnya pemahaman keagamaan juga menjadi penyebab maraknya terorisme. Di lain sisi, terorisme juga disebabkan oleh faktor ketimpangan keluarga yang berada dalam jerit kesusahan.
Buku yang berjudul Surat Cinta untuk Kisha ini mengetengahkan persoalan pelik dalam kehidupan yang akhirnya membawa pada sebuah pergerakan yang bernama terorisme.
Penulis buku ini tampak jeli dan piawai karena mengisahkan sebuah memoar kehidupan yang dinarasikan dalam surat dan disajikan dalam bentuk novel. Penulis hendak membawa pembaca dalam keheningan sebuah surat dan cerita yang akan memancing nalar adrenalin pembaca untuk tertarik.
Dalam novel ini, tokoh yang diangkat penulis adalah seorang pemuda yang bernama Ramu yang mengirimkan 17 surat kepada Kisha. Serentetan surat itu ditulis dan dikirimkan Ramu menjelang eksekusi matinya karena kejahatan terorisme. Ramu dan Kisha adalah dua sahabat yang pernah hidup dalam sebuah kampung pada masa kecil. Namun, karena keluarga Ramu berpindah ke Gulama, mereka akhirnya berpisah (halaman 119-141).
Kehidupan nyaris tak pernah berbanding lurus dengan keinginan. Kehidupan Ramu di Gulama perlahan mengalami ketimpangan luar biasa. Berawal dari ayah Ramu yang dipecat dari pekerjaannya karena terbukti menjual beberapa bahan baku perusahaan secara gelap. Ayah Ramu yang menjadi tulang punggung keluarga akhirnya tak dapat berkera dan pada suatu suatu meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya (halaman 227-246). 
Ihwal kehidupan Ramu yang dikirimkan dalam surat-suratnya ke Kisha ini sungguh bernasib kepalang. Dalam suratnya pula, Ramu menceritakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan keluarga, akhirnya ia bekerja dan menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Ramu akhirnya menikah dengan perempuan pilihannya seorang yang bernama Sofia dan dikaruniai seorang anak. Namun, lagi-lagi cobaan hidup menimpa Ramu.  (halaman 270-290).
Beberapa hari dari kelahiran anaknya, ibu Ramu meninggal dunia. Tak cukup sampai disitu, kehidupan Ramu semakin kelam ketika anak semata wayangnya menderita demam berdarah dan tak mampu diselamatkan. Dalam waktu berdekatan, ibu dan anak yang disayanginya meninggal dunia. Kehidupan Ramu tak menentu dan akhirnya bercerai dengan istrinya. Penulis novel ini benar-benar mampu membawa pembaca pada situasi yang menegangkan dalam altar cerita yang disajikan.
Pada hari-hari berikutnya, Ramu menyadari bahwa hidup ini hanyalah fatamorgana. Hidup adalah kesementaraan diri yang akan mengantarkan pada kehidupan hakiki kelak dikemudian hari. Ramu akhirnya  mencari jalan hidup dalam mental spritualitas yang mendalam lewat pemahaman-pemahaman keagamaan. Tak disangka, dari kehidupan keagamaan inilah pada akhirnya mengantarkan Ramu pada sebuah gerakan terorisme.
Ramu akhirnya melakukan pengeboman saat dilangsungkan pertemuan di sebuah restoran yang dihadiri banyak pejabat negara dan duta besar dari negara manca. Pada kejadian itu, sebanyak 200 orang lebih meninggal dunia (halaman 343-360).
Novel ini membawa pesan yang sangat dalam. Dalam faktanya, sikap intoleransi tak semata muncul dari faktor internal namun juga dari faktor eksternal, seperti kebijakan politik pemerintah atau kontestasi politik global. Ternyata, gerakan terorisme juga bisa meuncul akibat ketimpangan keluarga dalam penderitaan yang beruntun. Novel ini mengajarkan bahwa kekerasan dan agresivitas merupakan bagian dari sebuah sindrom. Kekerasan dan agresivitas muncul bersamaan dengan sifat-sifat lain di dalam sebuah sistem, seperti hirarki yang kaku, terlalu kuatnya dominasi, terbaginya masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu, dan kehidupan yang tak menentu.
Novel ini juga mengajak untuk memahami bahwa agresi gerakan kekerasan harus dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada kehidupan dan masyarakat. Penulis novel ini hendak berpesan bahwa kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dengan segala bentuk konflik, perkembangan, serta perubahan yang ada di dalamnya. 
Sungguh, novel ini adalah sebuah kisah melodramatik yang demikian menyentuh. Sebuah novel yang dituturkan dengan bahasa dan teknik penulisan yang sungguh berbeda dari novel sejenis lainnya. Pesan besar yang ingin disampaikan penulis novel ini adalah kemampuan nalar masyarakat harus mampu berkembang ke arah kedewasaan yang utuh sesuai dengan karakteristik hukum dan sifat-sifat alamiah manusia sehingga tidak mudah terjerembab dalam lorong kegelapan, apalagi salah dalam faktor pemahaman keagamaan.

Furaida Ayu Musyrifa  Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar