Melindungi
Diri dari Mata Rantai Terorisme
Oleh
Furaida Ayu Musyrifa
Judul Buku: Surat Cinta
untuk Kisha
Penulis: Bintang
Berkisah
Penerbit: Diva Press,
Yogyakarta
Cetakan: I, Januari
2013
Tebal: 374 halaman
ISBN: 978-602-7640-55-9
Terorisme
menjadi salah satu masalah besar yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Aksi
terorisme terus menjamur lantaran instabilitas politik dan keamanan yang dipicu
masalah penegakan demokrasi. Juga disebabkan oleh lemahnya pemahaman keagamaan
juga menjadi penyebab maraknya terorisme. Di lain sisi, terorisme juga
disebabkan oleh faktor ketimpangan keluarga yang berada dalam jerit kesusahan.
Buku
yang berjudul Surat Cinta untuk Kisha ini mengetengahkan persoalan pelik
dalam kehidupan yang akhirnya membawa pada sebuah pergerakan yang bernama
terorisme.
Penulis
buku ini tampak jeli dan piawai karena mengisahkan sebuah memoar kehidupan yang
dinarasikan dalam surat dan disajikan dalam bentuk novel. Penulis hendak
membawa pembaca dalam keheningan sebuah surat dan cerita yang akan memancing
nalar adrenalin pembaca untuk tertarik.
Dalam
novel ini, tokoh yang diangkat penulis adalah seorang pemuda yang bernama Ramu
yang mengirimkan 17 surat kepada Kisha. Serentetan surat itu ditulis dan
dikirimkan Ramu menjelang eksekusi matinya karena kejahatan terorisme. Ramu dan
Kisha adalah dua sahabat yang pernah hidup dalam sebuah kampung pada masa
kecil. Namun, karena keluarga Ramu berpindah ke Gulama, mereka akhirnya berpisah
(halaman 119-141).
Kehidupan
nyaris tak pernah berbanding lurus dengan keinginan. Kehidupan Ramu di Gulama
perlahan mengalami ketimpangan luar biasa. Berawal dari ayah Ramu yang dipecat
dari pekerjaannya karena terbukti menjual beberapa bahan baku perusahaan secara
gelap. Ayah Ramu yang menjadi tulang punggung keluarga akhirnya tak dapat
berkera dan pada suatu suatu meninggal dunia akibat kecelakaan di jalan raya
(halaman 227-246).
Ihwal
kehidupan Ramu yang dikirimkan dalam surat-suratnya ke Kisha ini sungguh
bernasib kepalang. Dalam suratnya pula, Ramu menceritakan bahwa untuk mencukupi
kebutuhan keluarga, akhirnya ia bekerja dan menggantikan ayahnya menjadi tulang
punggung keluarga. Ramu akhirnya menikah dengan perempuan pilihannya seorang yang
bernama Sofia dan dikaruniai seorang anak. Namun, lagi-lagi cobaan hidup
menimpa Ramu. (halaman 270-290).
Beberapa
hari dari kelahiran anaknya, ibu Ramu meninggal dunia. Tak cukup sampai disitu,
kehidupan Ramu semakin kelam ketika anak semata wayangnya menderita demam
berdarah dan tak mampu diselamatkan. Dalam waktu berdekatan, ibu dan anak yang
disayanginya meninggal dunia. Kehidupan Ramu tak menentu dan akhirnya bercerai
dengan istrinya. Penulis novel ini benar-benar mampu membawa pembaca pada
situasi yang menegangkan dalam altar cerita yang disajikan.
Pada
hari-hari berikutnya, Ramu menyadari bahwa hidup ini hanyalah fatamorgana.
Hidup adalah kesementaraan diri yang akan mengantarkan pada kehidupan hakiki
kelak dikemudian hari. Ramu akhirnya mencari jalan hidup dalam mental
spritualitas yang mendalam lewat pemahaman-pemahaman keagamaan. Tak disangka,
dari kehidupan keagamaan inilah pada akhirnya mengantarkan Ramu pada sebuah
gerakan terorisme.
Ramu
akhirnya melakukan pengeboman saat dilangsungkan pertemuan di sebuah restoran
yang dihadiri banyak pejabat negara dan duta besar dari negara manca. Pada
kejadian itu, sebanyak 200 orang lebih meninggal dunia (halaman 343-360).
Novel
ini membawa pesan yang sangat dalam. Dalam faktanya, sikap intoleransi tak
semata muncul dari faktor internal namun juga dari faktor eksternal, seperti
kebijakan politik pemerintah atau kontestasi politik global. Ternyata, gerakan
terorisme juga bisa meuncul akibat ketimpangan keluarga dalam penderitaan yang
beruntun. Novel ini mengajarkan bahwa kekerasan dan agresivitas merupakan
bagian dari sebuah sindrom. Kekerasan dan agresivitas muncul bersamaan dengan
sifat-sifat lain di dalam sebuah sistem, seperti hirarki yang kaku, terlalu
kuatnya dominasi, terbaginya masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu, dan kehidupan
yang tak menentu.
Novel
ini juga mengajak untuk memahami bahwa agresi gerakan kekerasan harus dipahami
sebagai bagian dari karakter sosial yang dibentuk secara kultural, berupa
nilai-nilai yang ditanamkan pada kehidupan dan masyarakat. Penulis novel ini
hendak berpesan bahwa kekerasan tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial
dengan segala bentuk konflik, perkembangan, serta perubahan yang ada di
dalamnya.
Sungguh, novel ini adalah sebuah kisah
melodramatik yang demikian menyentuh. Sebuah novel yang dituturkan dengan bahasa dan teknik
penulisan yang sungguh berbeda dari novel sejenis lainnya. Pesan besar
yang ingin disampaikan penulis novel ini adalah kemampuan nalar masyarakat harus
mampu berkembang ke arah kedewasaan yang utuh sesuai dengan karakteristik hukum
dan sifat-sifat alamiah manusia sehingga tidak mudah terjerembab dalam lorong
kegelapan, apalagi salah dalam faktor pemahaman keagamaan.
Furaida Ayu Musyrifa Mahasiswi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di Rimanews Jum'at 24 Mei 2013 dengan link http://www.rimanews.com/read/20130524/104023/melindungi-diri-dari-mata-rantai-terorisme#.UZ9_u9-hSMQ.twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar