Kamis, 30 Mei 2013

Mengembangkan Pendidikan Untuk Kaum Miskin


Mengembangkan Pendidikan Untuk Kaum Miskin

Jateng Pos,  minggu 14 april 2013

Judul : Sekolah untuk Kaum Miskin
Penulis : James Tooley
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : ix + 476 halaman
ISBN : 978-602-9193-27-5

Pembangunan sektor pendidikan bukan monopoli pemerintah atau sekolah-sekolah negeri. Semua pihak mempunyai peran dalam menyehatkan sektor pendidikan karena kualitas sumber daya manusia yang tinggi akan membuat sebuah negeri menjadi merdeka, makmur dan berdaulat penuh.
Kaum miskin yang jauh dari sentuhan keberpihakan tidak harus menunggu sedekah pendidikan dari negara karena orang miskin mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan. James Tooley, Profesor bidang kebijakan pendidikan di Newcastle University, Inggris, membuktikan pernyataan ini. Dalam buku ini, Tooley menemukan sekolah-sekolah swasta menjamur di setiap sudut daerah kumuh di Hyderabad, India. Sekolah tersebut mengandalkan dana dari orangtua siswa dengan biaya murah. Temuan ini membawa pada pemikiran bahwa orang miskin memiliki asa untuk mendapatkan pembelajaran berkualitas melalui sekolah swasta murah.
Dengan melakukan penelitian mendalam mengenai realitas kehidupan kaum miskin di beberapa negara, Tooley menunjukkan betapa gelombang kesadaran dan kebangkitan orang miskin di pelbagai penjuru dunia sangat tinggi untuk mencerdaskan anak-anak mereka tanpa sentuhan dan bantuan negara.
Dalam petualangannya, Tooley sempat singgah dibeberapa negara dan menemukan fenomena yang tak terduga. Di sebuah daerah kumuh, ia menemukan sekolah-sekolah swasta yang melayani anak-anak miskin, dengan ukuran kelas yang kecil, nilai tes yang lebih tinggi dan guru-guru yang mempunyai motivasi tinggi.
Kerja penelusuran Tooley mengungkapkan fakta yang belum pernah ditemukan: sekolah swasta untuk kaum miskin. Tooley menemukan sekolah swasta murah di  daerah kumuh di Nigeria, beberapa daerah lain di India, pedesaan di Ghana, dan pelosok di China. Tooley memberikan tamsil Peace High School, sebuah sekolah swasta yang memberi Shakera Khan dan ketiga saudarinya potongan biaya 40%. Ayah mereka, yang buta aksara, bekerja di toko sepatu dengan gaji harian paling besar 100 rupee ( 2, 22 dolar). Ibu mereka juga buta aksara yang bekerja sebagai buruh harian dengan upah 25 sampai 30 rupee (56 sampai 66 sen) per hari. Dalam keterbatasan keluarga, orang tua mereka tetep  ingin menyekolahkan anak-anaknya (hm 27).
Mengapa orang miskin memilih sekolah swasta, padahal sekolah negeri memberi biaya, seragam, makan siang, buku gratis? Menurut Tooley, hal ini bermula dari ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi pendidikan yang mengalami kerancuan. Masyarakat yang begitu membutuhkan dunia pendidikan, terpaksa terkatung-katung dalam jebakan kapitalisme pendidikan. Jangankan mengakses pendidikan berkualitas, sekadar masuk ke sekolah regular negeri dengan standar minimal, rakyat harus berjuang dengan cucuran keringat. Sekolah-sekolah tampil dengan penuh angkuh dan hidup dari kebohongan, dibangun di atas puing-puing keserakahan. Semangat kapitalisme terus menggejala untuk mengeruk banyak uang tanpa memperhatikan unsur substansi pendidikan. Sekolah negeri tidak memenuhi standar. Guru-guru tidak hadir, dan kalau pun hadir, mereka jarang mengajar (hlm 28-29).
Semakin mahalnya biaya pendidikan, justru membuat rakyat putus asa untuk terjun menghilangkan kebodohan. Petualang menakjubkan yang dilakukan Tooley memperoleh kesimpulan bahwa mahalnya pendidikan di pelbagai penjuru dunia telah mempersempit kesempatan belajar bagi anak berlatar belakang keluarga berekonomi rendah. Meski mereka berprestasi, namun tidak berani mendaftar di sekolah (hlm 281-283).
Menjadi ironi ketika pendidikan dihambat oleh pemerintah dengan alasan eksploitasi kaum miskin. Padahal, motivasi mendirikan sekolah tidak berdasarkan kepentingan bisnis semata. Realitanya, para pemilik sekolah swasta murah bekerja sosial menyediakan filantropi (cinta kasih terhadap sesama manusia) dengan semangat swasembada pendidikan. Tooley terkejut menemukan daerah-daerah kumuh yang justru diselimuti semangat sekolah swasta.
Pendidikan yang baik dan berkualitas memang perlu biaya. Namun, haruskah biaya itu dibebankan kepada warga negara yang jelas-jelas tak mampu menanggungnya? Di sinilah tanggung jawab negara layak digugat. Buku ini mengajak untuk berteriak lantang, pendidikan itu untuk apa dan untuk siapa?

Furaida Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar