Mengembangkan Pendidikan Untuk Kaum Miskin
Jateng Pos, minggu
14 april 2013
Judul : Sekolah untuk Kaum Miskin
Penulis : James Tooley
Penerbit
: Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : ix + 476 halaman
ISBN : 978-602-9193-27-5
Pembangunan
sektor pendidikan bukan monopoli pemerintah atau sekolah-sekolah negeri. Semua pihak mempunyai peran
dalam menyehatkan sektor pendidikan karena kualitas sumber daya manusia yang
tinggi akan membuat sebuah negeri menjadi merdeka, makmur dan berdaulat penuh.
Kaum miskin yang jauh dari sentuhan
keberpihakan tidak harus menunggu sedekah pendidikan dari negara karena orang miskin mempunyai hak yang sama
untuk mengenyam pendidikan. James Tooley, Profesor bidang kebijakan pendidikan
di Newcastle University, Inggris, membuktikan pernyataan ini. Dalam buku ini,
Tooley menemukan sekolah-sekolah swasta menjamur di setiap sudut daerah kumuh di Hyderabad, India.
Sekolah tersebut mengandalkan dana dari orangtua siswa dengan biaya murah.
Temuan ini membawa pada pemikiran bahwa orang miskin memiliki asa untuk
mendapatkan pembelajaran berkualitas melalui sekolah swasta murah.
Dengan melakukan penelitian
mendalam mengenai realitas kehidupan kaum miskin di beberapa negara, Tooley
menunjukkan betapa gelombang kesadaran dan kebangkitan orang miskin di pelbagai
penjuru dunia sangat tinggi untuk mencerdaskan anak-anak mereka tanpa sentuhan
dan bantuan negara.
Dalam petualangannya, Tooley
sempat singgah dibeberapa negara dan menemukan fenomena yang tak terduga. Di
sebuah daerah kumuh, ia menemukan sekolah-sekolah swasta yang melayani
anak-anak miskin, dengan ukuran kelas yang kecil, nilai tes yang lebih tinggi
dan guru-guru yang mempunyai motivasi tinggi.
Kerja penelusuran Tooley
mengungkapkan fakta yang belum pernah ditemukan: sekolah swasta untuk kaum
miskin. Tooley menemukan
sekolah swasta murah di daerah kumuh di Nigeria, beberapa daerah lain di
India, pedesaan di Ghana, dan pelosok di China. Tooley memberikan tamsil Peace
High School, sebuah sekolah swasta yang memberi Shakera Khan dan ketiga
saudarinya potongan biaya 40%. Ayah mereka, yang buta aksara, bekerja di toko
sepatu dengan gaji harian paling besar 100 rupee ( 2, 22 dolar). Ibu mereka
juga buta aksara yang bekerja sebagai buruh harian dengan upah 25 sampai 30
rupee (56 sampai 66 sen) per hari. Dalam keterbatasan keluarga, orang tua
mereka tetep ingin menyekolahkan
anak-anaknya (hm 27).
Mengapa orang miskin memilih sekolah
swasta, padahal sekolah negeri memberi biaya, seragam, makan siang, buku gratis?
Menurut Tooley, hal ini bermula dari ketidakpuasan masyarakat
terhadap situasi
pendidikan yang mengalami kerancuan. Masyarakat yang begitu membutuhkan dunia pendidikan,
terpaksa terkatung-katung dalam jebakan kapitalisme pendidikan. Jangankan mengakses
pendidikan berkualitas,
sekadar masuk ke sekolah regular negeri
dengan standar minimal,
rakyat harus berjuang dengan cucuran keringat. Sekolah-sekolah
tampil dengan penuh angkuh dan hidup dari kebohongan, dibangun di atas
puing-puing keserakahan. Semangat kapitalisme terus menggejala untuk mengeruk
banyak uang tanpa
memperhatikan unsur substansi pendidikan. Sekolah negeri tidak memenuhi standar.
Guru-guru tidak hadir, dan kalau pun hadir, mereka jarang mengajar (hlm 28-29).
Semakin
mahalnya biaya pendidikan,
justru membuat rakyat
putus asa untuk terjun menghilangkan kebodohan.
Petualang menakjubkan
yang dilakukan Tooley memperoleh kesimpulan bahwa mahalnya pendidikan di
pelbagai penjuru dunia
telah mempersempit
kesempatan belajar bagi anak berlatar belakang keluarga berekonomi rendah.
Meski mereka berprestasi, namun tidak berani mendaftar di sekolah (hlm 281-283).
Menjadi ironi ketika pendidikan dihambat
oleh pemerintah dengan alasan eksploitasi kaum miskin. Padahal, motivasi
mendirikan sekolah tidak berdasarkan kepentingan bisnis semata. Realitanya,
para pemilik sekolah swasta murah bekerja sosial menyediakan filantropi (cinta kasih terhadap sesama
manusia) dengan semangat
swasembada pendidikan. Tooley
terkejut menemukan daerah-daerah kumuh yang justru diselimuti semangat sekolah
swasta.
Pendidikan
yang baik dan berkualitas memang perlu biaya. Namun, haruskah biaya
itu dibebankan kepada warga negara yang jelas-jelas tak mampu menanggungnya? Di sinilah tanggung
jawab negara layak digugat. Buku
ini mengajak untuk berteriak lantang,
pendidikan itu untuk apa dan untuk siapa?
Furaida
Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) Mahasiswi Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar