Senin, 03 Juni 2013

Imaji Rowling Tanpa Sihir

Oleh Furaida Ayu Musyrifa

Judul : The Casual Vacancy (Perebutan Kursi Kosong)
Penulis : JK Rowling
Penerbit : Qanita Bandung
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : 593 halaman
ISBN : 978 602 9225 686

Novel ini adalah karya pertama JK Rowling untuk pembaca dewasa. Rowling mengejutkan kita dengan keluasan cakupan imajinasinya. Ia melakukan branding ulang dengan merilis novel drama untuk pembaca dewasa, tidak seperti karya sebelumnya, serial Harry Potter. Tema yang diusungnya sangat menarik, sangat berbeda dari Harry Potter. Novel ini tegak dengan kritik sosial dan politik yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Tidak mengherankan, novel ini menjadi salah satu karya terbaik di dunia literer.
Dengan bahasa yang dingin dan elegan, Rowling menyihir pembaca pada awal plot novel yang dikemas dalam cerita gumam sebuah perebutan kursi kekuasaan yang kosong. Berawal dari meninggalnya sang penguasa Barry Fairbrother secara tiba-tiba di usia 40 tahun, kota kecil yang bernama Pagford dilanda keterkejutan dan penuh kemampatan dalam segala lini. Pagford adalah sebuah kota kecil Inggris yang tenang dengan alun-alun pasar berbatu dan sebuah biara kuno yang indah terletak di dekat kota Yarvil, Inggris. Keindahan luarnya ternyata menyimpan banyak rahasia yang tersembunyi.
Rowling tak hanya berusaha mengimajinasikan substansi pokok permasalahan dalam novel tapi ia berusaha mempermainkan imaji pembaca. Dalam seratus halaman pertama, Rowling memunculkan banyak nama. Tebaran nama ini memunculkan sisi lain dari novel-bovel biasanya. Rowling dengan sengaja menampilkan tokoh sebanyak itu dan ditumpahkan di bagian awal. Seperti keluarga Mollison, Wall, Jawanda, Fairbrother, Weedon, Bawden (halaman 98). Rupanya semua nama ini satu sama lain dan masing-masing memiliki kaitan tersendiri dengan Barry Fairbrother yang walaupun meninggal di awal namun memiliki peran besar seperti hantu yang terus membayangi setiap tokoh ini.
Kematian Barry memang menjadi titik sentral hingga ada kursi kosong di Dewan Kota. Dari titik ini, kemudian banyak bermunculan orang yang merasa layak menggantikan Barry dan lebih banyak lagi yang merasa berkepentingan dengan urusan pemilihan kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, anak-anak remaja yang tidak akur dengan orang tuanya, istri bertengkar dengan suaminya, guru yang juga terlibat perseteruan dengan muridnya (halaman 105-169).
Dalam setiap lembaran kertas ini, Barry menjadi mutiara diantara lumpur, seorang tokoh protagonist diantara kumpulan orang-orang sinis, sadis, sarkatis yang penuh kebencian. Yang menegaskan ini novel dewasa, selain kata kasar, contoh buruk tentang pembangkangan dan kelancangan pada orang tua adalah emosi  yang akan sulit dipahami anak dibawah umur.
Penerima gelar kehormatan the Prince of Asturias Award for Concord, France’s Legion d’honneur dan The Hans Christian Andersen Literature Award ini hendak mengajarkan bahwa proses kehidupan serta pendewasaan dan menjadi dewasa memang begitu keras, bahkan kebenaran bisa menjadi rumit. Rowling menggambarkan kehidupan dalam buku ini dengan ilusi andai ketakbenaran yang dibenarkan. Entah mengapa, saya juga mengandaikan pengunduran diri Andi Mallarangeng sebagai Menpora, tak jauh seperti kisah Barry dalam novel elegan ini.

Furaida Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar