Oleh Furaida Ayu Musyrifa
Judul : The Casual Vacancy (Perebutan Kursi Kosong)
Penulis : JK Rowling
Penerbit : Qanita Bandung
Cetakan : I, Desember 2012
Tebal : 593 halaman
ISBN : 978 602 9225 686
Novel ini adalah karya pertama JK Rowling untuk pembaca dewasa. Rowling
mengejutkan kita dengan keluasan cakupan imajinasinya. Ia melakukan branding
ulang dengan merilis novel drama untuk pembaca dewasa, tidak seperti karya
sebelumnya, serial Harry Potter. Tema yang diusungnya sangat menarik, sangat
berbeda dari Harry Potter. Novel ini tegak dengan kritik sosial dan politik
yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Tidak mengherankan, novel
ini menjadi salah satu karya terbaik di dunia literer.
Dengan bahasa yang dingin dan elegan, Rowling menyihir pembaca pada
awal plot novel yang dikemas dalam cerita gumam sebuah perebutan kursi kekuasaan
yang kosong. Berawal dari meninggalnya sang penguasa Barry Fairbrother secara
tiba-tiba di usia 40 tahun, kota kecil yang bernama Pagford dilanda
keterkejutan dan penuh kemampatan dalam segala lini. Pagford adalah sebuah kota
kecil Inggris yang tenang dengan alun-alun pasar berbatu dan sebuah biara kuno
yang indah terletak di dekat kota Yarvil, Inggris. Keindahan luarnya ternyata
menyimpan banyak rahasia yang tersembunyi.
Rowling tak hanya berusaha mengimajinasikan substansi pokok
permasalahan dalam novel tapi ia berusaha mempermainkan imaji pembaca. Dalam
seratus halaman pertama, Rowling memunculkan banyak nama. Tebaran nama ini memunculkan
sisi lain dari novel-bovel biasanya. Rowling dengan sengaja menampilkan tokoh
sebanyak itu dan ditumpahkan di bagian awal. Seperti keluarga Mollison, Wall,
Jawanda, Fairbrother, Weedon, Bawden (halaman 98).
Rupanya semua nama ini satu sama lain dan masing-masing memiliki kaitan
tersendiri dengan Barry Fairbrother yang walaupun meninggal di awal namun
memiliki peran besar seperti hantu yang terus membayangi setiap tokoh ini.
Kematian Barry memang menjadi titik sentral hingga ada kursi kosong
di Dewan Kota. Dari titik ini, kemudian banyak bermunculan orang yang merasa
layak menggantikan Barry dan lebih banyak lagi yang merasa berkepentingan
dengan urusan pemilihan kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah kesenjangan
antara orang kaya dan orang miskin, anak-anak remaja yang tidak akur dengan
orang tuanya, istri bertengkar dengan suaminya, guru yang juga terlibat
perseteruan dengan muridnya (halaman 105-169).
Dalam setiap lembaran kertas ini, Barry menjadi mutiara diantara
lumpur, seorang tokoh protagonist diantara kumpulan orang-orang sinis, sadis,
sarkatis yang penuh kebencian. Yang menegaskan ini novel dewasa, selain kata
kasar, contoh buruk tentang pembangkangan dan kelancangan pada orang tua adalah
emosi yang akan sulit dipahami anak
dibawah umur.
Penerima gelar kehormatan the Prince of Asturias Award for Concord,
France’s Legion d’honneur dan The Hans
Christian Andersen Literature Award ini hendak mengajarkan bahwa proses
kehidupan serta pendewasaan dan menjadi dewasa memang begitu keras, bahkan
kebenaran bisa menjadi rumit. Rowling menggambarkan kehidupan dalam buku ini
dengan ilusi andai ketakbenaran yang dibenarkan. Entah mengapa, saya juga
mengandaikan pengunduran diri Andi Mallarangeng sebagai Menpora, tak jauh
seperti kisah Barry dalam novel elegan ini.
Furaida Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di http://radarseni.com/2013/06/01/imaji-rowling-tanpa-sihir/ Sabtu 1 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar