Jumat, 07 Juni 2013

Mengatasi Traumatik Bullying dalam Pendidikan




Judul : Bencana Sekolah
Penulis : Jodee Blanco
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Mei 2013
Tebal : ix + 322 halaman
ISBN : 978-602-9193-31-2

Pendidikan menjadi aset penting bagi bangsa yang akan menentukan maju atau tidaknya suatu bangsa. Pendidikan menjadi investasi paling mahal. Namun, tak henti-hentinya kita menyaksikan pelbagai sisi negatif dalam dunia pendidikan, misalnya tawuran antar siswa, cemoohan, ejekan dan pengibirian siswa, atau yang dikenal dengan bullying.
Jacoob Blanco dalam buku ini mengamini bahwa dunia pendidikan saat ini telah timpang dalam dehumanisasi. Pendidikan tak lagi memanusiakan manusia, karena sekolah justru mendatangkan bencana bagi para siswa, terutama yang berbentuk bullying.
Bullying adalah salah satu bentuk dari perilaku agresi dengan tujuan mengganggu orang yang lebih lemah. Bullying mengandung hasrat untuk melukai atau menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma, depresi dan tidak berdaya. Blanco dalam buku ini memaparkan cerita yang luar biasa dalam mengungkap memoar yang dialaminya sepanjang masa sekolah. Ayah dan ibunya menanamkan pendirian yang teguh tentang kebenaran dan kesalahan. Mengajarkan tentang belas kasih dan toleran, selalu mendorong untuk bersikap mandiri dan teguh.
Pada awal pendidikannya di sekolah dasar di Holly Ascention, Jodee menjadi anak yang populer. Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gadis kecil berkebutuhan khusus bernama Marianne. Marianne mempunyai satu kaki yang bengkok. Ia tuli total juga berpenglihatan rabun. Ia selalu tampil dengan pakaian bekas yang lusuh sehingga beberapa siswa menertawakannya, bahkan mengoloknya. Jodee ingin membuat Marianne merasa dicintai, dan ia memutuskan untuk bekerja sukarela di program tunarungu pada jam makan siang. (hlm 31)
Hubungan dan kedekatannya yang kian harmonis dengan Marianne membuat optimisme  Jodee  akan keharmonisan hidup di sekolahnya berumur pendek. Semua yang menurut Jodee benar adalah kesalahan fatal di mata temannya. Ia dijauhi dan mulai teralineasi. Rambutnya dilempari permen karet, sweater kesayangannya dimasukkan ke toilet, hingga mulut mungilnya yang kecil itu dijejali salju dingin hingga kesulitan bernafas.  Teman di sekolah menyebutnya si jalang sialan, idiot, si anak buangan, dan orang aneh (hlm 71).
Menjadi ironi, ketika orangtuanya berselisih tentang apa yang harus dilakukan. Mereka tidak tahan melihat Jodee pulang setiap hari sambil menangis. Tetapi juga khawatir, jika mereka membiarkannya pindah sekolah maka sama halnya dengan menganjurkan pelarian diri dari masalah. Mereka terjebak antara keinginan untuk menyelamatkan atau mengajarkan cara mengatasi masalah.
Blanco menuturkan kisahnya sendiri saat ia menjadi korban Bullying. Melalui perjalanan hidup yang ada dalam buku ini, Jodee ingin agar anak-anak yang menjadi korban bullying merasa tidak sendirian, ada yang memahami mereka, dan bahwa jika ia bisa selamat begitu juga mereka. Kisah jodee hanyalah satu dari sekian banyak kasus bullying yang terjadi. Maka hadirnya buku ini dimaksudkan agar pelaku bullying sadar bahwa mereka telah menghancurkan korban mereka seumur hidup, dan agar para orangtua serta guru memahami isu ini dari perspektif anak-anak yang menjadi korban bullying.
Buku ini sangat dianjurkan karena akan membuat semua orang terkejut akan daya tahan dari seorang wanita korban bullying yang membela diri tanpa kasar dan kekerasan. Terlebih, Indonesia kini menduduki peringkat tertinggi kedua dalam kasus bullying setelah Jepang. Buku ini menjadi peringatan bagi semua pihak meliputi orang tua, masyarakat, pendidik, dan peserta didik agar benar-benar memosisikan dirinya dalam perannya mengatasi kasus bullying.


Furaida Ayu Musyrifa (Ayu Arsyadie) Mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang

 Dimuat di Koran Jakarta. Jum'at 7 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar